Walau banjir bukan hal baru bagi warga Jakarta, tapi banjir
tahun 2014 ini meninggalkan kesan yang mendalam dalam hidup saya. Bagaimana
tidak? Walau saya tinggal di Jakarta Barat yang langganan banjir, tapi
Alhamdulillah selama ini rumah saya tidak pernah kebanjiran. Meskipun tentu
saja saya dan keluarga kesulitan untuk mengakses dunia luar karena aksesnya
tergenang air dimana-mana. Dan sampai pada akhirnya di tahun 2014 ini saya yang
indekos di dekat kantor saya di Bekasi Barat akhirnya mengalami banjir untuk
pertama kalinya dalam hidup. Hiks.
Pengalaman Pertama
Mau tahu rasanya kebanjiran pertama kali? Hummm…. Coba Anda baca
posting saya ini sembari membayangkan. Biasanya hujan mau sederas apapun kosan
saya tidak pernah banjir, hanya saja jalanan sekitar kosan saya tergenang sampai
betis sudah hampir pasti terjadi. Jadi pada waktu itu, Ahad malam saya pergi
dari rumah orang tua di Jakarta menuju kosan di Bekasi, hujan deras sempat
terhenti sesaat saat saya naik P9BA ke untuk turun di Metropolitan Mall (MM).
Tapiiii…. Di tengah jalan menuju tol Bekasi barat, ternyata macet luar biasa,
dan diterimalah kabar bahwa daerah Pekayon sudah terendam, maka bis ini pun
mengambil jalur lain. Penumpang yang hendak turun di MM diturunkan di bawah
jembatan di Hotel Horison. Lalu kami memanjat jembatan, menyebrangi hotel, dan
menuruni fly over. Sampailah kami di seberang Bekasi Square, lalu melanjutkan
naik Angkot 25 jurusan Kranji. Di dalam angkot terjadi perbincangan hangat
tentang bajir yang terjadi, dan bahwa tanggul jebol, lalu basement parkiran
Bekasi Hypermall (lebih dikenal dengan ‘Giant’) sudah terendam. Para pedagang
di lantai bawah sudah mengungsikan barang dagangannya ke kios di lantai yang
lebih tinggi.
Saat mendengar perbincangan yang membuat kewaspadaan on
maksimal itu saya menerima SMS dari teman satu kosan saya bahwa air sudah
sampai di depan kosan. Huaaa… pikiran saya semakin melayang kemana-mana…
berpikir untuk segera ke kamar kosan untuk menyelamatkan barang-barang.
Akhirnya saya turun dari angkutan umum dan berjalan menuju kosan. Perjalanan
yang lumrahnya hanya butuh 2 menit itu kini begitu menyiksa. Saya berjalan kaki
sambil mengangkat rok saya tinggi-tinggi dan menbiarkan legging yang saya pakai
basah lepek tak berdaya, karena di bagian jalanan yang paling legok ke dalam,
air sudah merendam jalanan sampai setinggi pinggang saya. Saya pun sampai ke
kosan, air belum masuk, masih tiga ruas jari lagi dari ambang pintu depan. Saya
langsung meju kamar mandi untuk membilas tubuh saya yang kotor terkena air
banjir. Lalu langsung berbenah barang-barang di kamar saya. Ponsel yang sudah
lowbat langsung saya charge karena saya khawatir listrik akan segera dipadamkan
oleh PLN.
Selagi saya berbenah, saya akhirnya menyadari betapa
banyaknya barang-barang saya yang sebenarnya memang saya butuhkan tapi hampir
tidak pernah saya pakai. Seperti baju pesta, sepatu, perabotan-perabotan, dan
sebagainya. Semua saya naikan ke atas lemari dan ranjang. Saya tidak peduli
apa-apa lagi.
Jika saya mempotret diri saya waktu itu, sungguh fashion
paling ngaco yang pernah saya pakai. Celana panjang kaos belang-belang, kaos
lengan panjang kembang-kembang dan bergo warna pink yang sudah dekil terkena
debu karena berbenah. Lusuh maksimal! Hahahaha….
Selesai berbenah, saya cek ke kamar mandi di belakang, wah
gawat… air sudah menggenang di kamar mandi, dan…. Dengan sangat perlahan tapi
pasti mulai meninggi.. meninggi… naik… naik…. Merayap menggenangi satu per satu
petak lantai keramik kosan saya. Saya cek juga keadaan di depan kosan saya…
para bapak-bapak sudah siaga di luar rumah masing-masing, menjaga mobil dan
harta benda lainnya. Tetangga yang punya bayi dan balita sudah mulai berangkat
menerjang banjir demi mengungsikan bocah-bocah itu ke tempat lain yang lebih
aman.
Detik-detik Menjelang Menjadi Genangan
Saya dan teman kosan saya pun begadang, kami yang sama-sama
belum pernah kebanjiran, memasang status SIAGA 1 malam itu. Panik, takut,
was-was, merasa masih tidak percaya kosan kami kebanjiran, semua perasaan itu
bercampur baur teraduk jadi satu. Air pun mulai mengetuk pintu kosan kami,
tanpa perlu izin dari kami, air kecoklatan itu naik dan merembes membasahi
keramik di depan. Air dari saluran air kamar mandi belakang pun sudah semakin
tinggi, diiringi dengan kegelapan karena akhirnya listrik dipadamkan, pelan-pelan
tapi pasti air dari saluran belakang dan genangan dari depan kosan itu bertemu
di dalam kosan kami sekitar jam 2 pagi di hari Senin. Saat Tubuh yang letih dan
kaki yang kedinginan membuat saya dan teman kosan memutuskan untuk tidur
sekejap. Resmi sudah status kosan saya kebanjiran setinggi mata kaki.
Mau tahu keadaan tidur kami saat itu? Seperti yang sudah
saya sebutkan sebelumnya, ranjang kami telah dibuat tempat penyelamatan
barang-barang. Jadilah kami atur sedikit sedemikian rupa agar ada ruang untuk
tubuh kami berbaring. Dan, berhasil, kami bisa berbaring horizontal, ruang yang
kosong hanya cukup untuk menopang tubuh kami dari panggul hingga kepala, lalu
bagaimana dengan kaki kami? Ya sudah, daripada masuk angin kedinginan, kami
ambil kursi dan jadilah kursi itu ekstensi dari ranjang. Sungguh posisi aneh
tapi sungguh saya sangat bersyukur saat itu masih bisa diberi nikmat oleh Allah
untuk bisa berbaring kala banjir. Akan tetapi, niat untuk tidur itu tidak
terlaksana, saya tidak bisa tidur, terjaga dan siaga terus. Karena kami
berencana jika air yang saat itu sudah semata kaki akhirnya meninggi lebih
parah, kami akan mengungsikan barang-barang ke rumah tetangga yang punya 2
lantai. Tapi Alhamdulillah air hanya masuk ke kosan kami berhenti hanya sampai
sematakaki. Akhirnya azan subuh berkumandang, karena sangat ngantuk saya
memutuskan untuk tidur sejenak baru kemudian solat subuh. Lumayan juga saya
bisa tidur 1 jam. Lalu saya wudhu dengan menggunakan air minum kemasan, Setelah
itu menunaikan solat subuh sambil duduk di ranjang (masih ingatkan ruang kosong,
kering, dan bersih yang bisa digunakan hanya sebatas panggul sampai kepala?)
Pasca Banjir
Pagi sekitar jam 8 air mulai surut, listrik sudah menyala,
perlahan kami membersihkan kosan kami, membuang air banjir yang kotor, dan
mengepel semuanya. Untuk sarapan kami membeli pop mie, air panas untuk menyeduh
kami masak dengan menggunakan rice cooker. Yah lumayan juga untuk mengganjal
dan menghangatkan perut. Bantuan juga datang dari teman kosan saya satu lagi
yang datang sambil membawa makanan. Berbenah pasca banjir ini ternyata juga
sangat melelahkan. Bergotongroyong kami membersihkan lantai kosan. Akhirnya
sekitar jam makan siang lantai sudah bersih, lalu kami belanja makanan jadi
lagi. Kami juga membeli mie instan dan telur ayam untuk direbus. Lewat jam
makan siang, kami pun sibuk untuk membereskan kamar kami masing-masing.
Saya pun langsung mengepak barang-barang yang tidak terlalu
saya butuhkan selama di kosan. Hanya barang-barang penting yang saya pakai hampir
setiap hari yang saya pertahankan ada di kosan. Barang-barang berat dengan
nilai rupiah lumayan dan juga berkas-berkas penting saya sudah pakemkan untuk
ditaruh di atas lemari. Kebanyakan makan di siang hari membuat kami tidak lapar
di malam harinya.
banjir di depan kosan |
Keesokan harinya (hari Selasa) kami sarapan dengan
menggunakan nasi putih, mie goreng instan, telur rebus dan sisa lauk kemarin.
Enaknya dari banjir seperti ini adalah kebersamaan, kami makan bersama di depan
kamar kami sambil mengobrol akrab. Selesai sarapan, berbenah, dan memastikan
jalanan di depan kosan saya sudah tidak tergenang air, saya pun mandi dan
bergegas memanggil taksi untuk mengangkut barang-barang yang kurang primer ke
rumah di Jakarta, dan tahukah Anda, perjalan kebon Jeruk-Bekasi Barat yang
normalnya sekitar 2 jam, saat itu hanya butuh waktu sekitar 40 menit saja!
Jalanan lancar sekali, sepiii seolah ingin membuat saya mengerti bahwa jarang
orang yang keluar rumah sehabis hujan nonstop berhari-hari seperti saat itu.
Luar biasa bukan…
Begitu sampai di rumah, saya langsung menaruh gembolan bawaan
saya ke kamar tidur. Orang tua saya yang tidak saya kabari kalau saya
kebanjiran kaget dan terharu anaknya berjuang melawan banjir tanpa bantuan
keluarga. Tubuh saya yang letih saya istirahatkan di rumah, saya tidur dengan
nyenyak, hingga sore hari, saya harus ke Bekasi, karena harus kembali bekerja
keesokan harinya.
Sudut Pandang Baru
Tadinya saya tidak berpikir untuk sharing pengalaman yang sungguh tidak nyaman ini, hanya saja setelah membaca dua buah artikel berkaitan dengan bantuan logistik pengungsi banjir, saya merasa perlu memberikan pendapat juga berdasarkan pengalaman saya ini. Artikel satu berkisah tetang pengungsi yang menolak nasi bungkus bantuan logistik, di sini pengungsi diposisikan sebagai orang yang tidak tahu terimakasih.
Artikel kedua
berisikan sudut pandang lain dari penolakan akan bantuan logistik tersebut,
juga ada solusi yang ditawarkan.
Mungkin sebelum saya mengalami kebanjiran saya akan serta merta sependapat pada artikel yang pertama tanpa mencari tahu pandangan lainnya. Tapi kini, secara umum saya lebih berpihak kepada artikel kedua, karena
memang benar kami korban banjir sangat butuh bantuan logistik. Karena bahkan
jika kami sudah memegang uang pun sulit untuk medapatkan makanan. Pedagang
makanan di sekitar lokasi pun jarang yang buka. Bantuan logistik yang cepat
sangat dibutuhkan.
Akan tetapi itu hanya untuk sehari atau dua hari saja,
selanjutnya korban banjir juga adalah manusia biasa yang perlu gizi seimbang.
Hadirnya sayur dan buah sangat diperlukan. Tidak perlu mahal, sayur dan buah
sederhana yang murah meriah pun tidak menjadi masalah. Perut yang kembung
karena kedinginan jangan diperparah lagi dengan sembelit yang disebabkan oleh
terlalu banyak konsumsi makanan yang minim serat. Untuk urusan tenaga pun,
budaya gotong royong masih menjadi urat nadi masyarakat negeri ini, terutama ketika
mengalami ‘perjuangan’ yang sama. Saya yakin, para korban banjir (termasuk saya
pribadi) bersedia mengerahkan tenaga untuk memenuhi kebutuhan logistik.
Belajarlah dari Pengalaman
Kesimpulannya, negeri ini sudah bukan sekali dua kali
terkena bencana, mulai dari banjir, tsunami, kebakaran, gempa, dan juga musibah
lainnya. Pengalaman-pengalaman ini menjadi begitu penting dan berharga. Mulai
dari saat ini bukan hanya kita belajar bagaimana cara untuk mencegah dan
memperbaiki kerusakan akibat bencana, tapi juga sudah saatnya kita menjadi
penolong dan atau menjadi korban bencana yang cerdas.
No comments:
Post a Comment