Monday, February 10, 2014

Banjir Bekasi 2014, Pengalaman yang Merubah Sudut Pandang


Bulan Januari-Februari 2014 ini wilayah Jakarta dan sekitarnya puas sudah diguyur hujan. Ya, perayaan Imlek yang jatuh pada tanggal 31 Januari 2014 ini seperti perayaan-perayaan pada tahun-tahun sebelumnya memang selalu identik dengan kehadiran curah hujan tinggi, selain kehadiran bandeng ukuran jumbo dan barongsai tentunya. Senang saya melihat saudara-saudari berdarah Tionghoa bersukacita menyambut tahun baru Imlek. Hanya saja…. Huhuuuu…. Banjir melanda ibukota, wilayah pendukung (Bodetabek), dan juga hampir seluruh pulau Jawa.


Walau banjir bukan hal baru bagi warga Jakarta, tapi banjir tahun 2014 ini meninggalkan kesan yang mendalam dalam hidup saya. Bagaimana tidak? Walau saya tinggal di Jakarta Barat yang langganan banjir, tapi Alhamdulillah selama ini rumah saya tidak pernah kebanjiran. Meskipun tentu saja saya dan keluarga kesulitan untuk mengakses dunia luar karena aksesnya tergenang air dimana-mana. Dan sampai pada akhirnya di tahun 2014 ini saya yang indekos di dekat kantor saya di Bekasi Barat akhirnya mengalami banjir untuk pertama kalinya dalam hidup. Hiks.

Pengalaman Pertama


Mau tahu rasanya kebanjiran pertama kali? Hummm…. Coba Anda baca posting saya ini sembari membayangkan. Biasanya hujan mau sederas apapun kosan saya tidak pernah banjir, hanya saja jalanan sekitar kosan saya tergenang sampai betis sudah hampir pasti terjadi. Jadi pada waktu itu, Ahad malam saya pergi dari rumah orang tua di Jakarta menuju kosan di Bekasi, hujan deras sempat terhenti sesaat saat saya naik P9BA ke untuk turun di Metropolitan Mall (MM). Tapiiii…. Di tengah jalan menuju tol Bekasi barat, ternyata macet luar biasa, dan diterimalah kabar bahwa daerah Pekayon sudah terendam, maka bis ini pun mengambil jalur lain. Penumpang yang hendak turun di MM diturunkan di bawah jembatan di Hotel Horison. Lalu kami memanjat jembatan, menyebrangi hotel, dan menuruni fly over. Sampailah kami di seberang Bekasi Square, lalu melanjutkan naik Angkot 25 jurusan Kranji. Di dalam angkot terjadi perbincangan hangat tentang bajir yang terjadi, dan bahwa tanggul jebol, lalu basement parkiran Bekasi Hypermall (lebih dikenal dengan ‘Giant’) sudah terendam. Para pedagang di lantai bawah sudah mengungsikan barang dagangannya ke kios di lantai yang lebih tinggi.

Saat mendengar perbincangan yang membuat kewaspadaan on maksimal itu saya menerima SMS dari teman satu kosan saya bahwa air sudah sampai di depan kosan. Huaaa… pikiran saya semakin melayang kemana-mana… berpikir untuk segera ke kamar kosan untuk menyelamatkan barang-barang. Akhirnya saya turun dari angkutan umum dan berjalan menuju kosan. Perjalanan yang lumrahnya hanya butuh 2 menit itu kini begitu menyiksa. Saya berjalan kaki sambil mengangkat rok saya tinggi-tinggi dan menbiarkan legging yang saya pakai basah lepek tak berdaya, karena di bagian jalanan yang paling legok ke dalam, air sudah merendam jalanan sampai setinggi pinggang saya. Saya pun sampai ke kosan, air belum masuk, masih tiga ruas jari lagi dari ambang pintu depan. Saya langsung meju kamar mandi untuk membilas tubuh saya yang kotor terkena air banjir. Lalu langsung berbenah barang-barang di kamar saya. Ponsel yang sudah lowbat langsung saya charge karena saya khawatir listrik akan segera dipadamkan oleh PLN. 

Selagi saya berbenah, saya akhirnya menyadari betapa banyaknya barang-barang saya yang sebenarnya memang saya butuhkan tapi hampir tidak pernah saya pakai. Seperti baju pesta, sepatu, perabotan-perabotan, dan sebagainya. Semua saya naikan ke atas lemari dan ranjang. Saya tidak peduli apa-apa lagi.

Jika saya mempotret diri saya waktu itu, sungguh fashion paling ngaco yang pernah saya pakai. Celana panjang kaos belang-belang, kaos lengan panjang kembang-kembang dan bergo warna pink yang sudah dekil terkena debu karena berbenah. Lusuh maksimal! Hahahaha….

Selesai berbenah, saya cek ke kamar mandi di belakang, wah gawat… air sudah menggenang di kamar mandi, dan…. Dengan sangat perlahan tapi pasti mulai meninggi.. meninggi… naik… naik…. Merayap menggenangi satu per satu petak lantai keramik kosan saya. Saya cek juga keadaan di depan kosan saya… para bapak-bapak sudah siaga di luar rumah masing-masing, menjaga mobil dan harta benda lainnya. Tetangga yang punya bayi dan balita sudah mulai berangkat menerjang banjir demi mengungsikan bocah-bocah itu ke tempat lain yang lebih aman.

Detik-detik Menjelang Menjadi Genangan

Saya dan teman kosan saya pun begadang, kami yang sama-sama belum pernah kebanjiran, memasang status SIAGA 1 malam itu. Panik, takut, was-was, merasa masih tidak percaya kosan kami kebanjiran, semua perasaan itu bercampur baur teraduk jadi satu. Air pun mulai mengetuk pintu kosan kami, tanpa perlu izin dari kami, air kecoklatan itu naik dan merembes membasahi keramik di depan. Air dari saluran air kamar mandi belakang pun sudah semakin tinggi, diiringi dengan kegelapan karena akhirnya listrik dipadamkan, pelan-pelan tapi pasti air dari saluran belakang dan genangan dari depan kosan itu bertemu di dalam kosan kami sekitar jam 2 pagi di hari Senin. Saat Tubuh yang letih dan kaki yang kedinginan membuat saya dan teman kosan memutuskan untuk tidur sekejap. Resmi sudah status kosan saya kebanjiran setinggi mata kaki.

Mau tahu keadaan tidur kami saat itu? Seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, ranjang kami telah dibuat tempat penyelamatan barang-barang. Jadilah kami atur sedikit sedemikian rupa agar ada ruang untuk tubuh kami berbaring. Dan, berhasil, kami bisa berbaring horizontal, ruang yang kosong hanya cukup untuk menopang tubuh kami dari panggul hingga kepala, lalu bagaimana dengan kaki kami? Ya sudah, daripada masuk angin kedinginan, kami ambil kursi dan jadilah kursi itu ekstensi dari ranjang. Sungguh posisi aneh tapi sungguh saya sangat bersyukur saat itu masih bisa diberi nikmat oleh Allah untuk bisa berbaring kala banjir. Akan tetapi, niat untuk tidur itu tidak terlaksana, saya tidak bisa tidur, terjaga dan siaga terus. Karena kami berencana jika air yang saat itu sudah semata kaki akhirnya meninggi lebih parah, kami akan mengungsikan barang-barang ke rumah tetangga yang punya 2 lantai. Tapi Alhamdulillah air hanya masuk ke kosan kami berhenti hanya sampai sematakaki. Akhirnya azan subuh berkumandang, karena sangat ngantuk saya memutuskan untuk tidur sejenak baru kemudian solat subuh. Lumayan juga saya bisa tidur 1 jam. Lalu saya wudhu dengan menggunakan air minum kemasan, Setelah itu menunaikan solat subuh sambil duduk di ranjang (masih ingatkan ruang kosong, kering, dan bersih yang bisa digunakan hanya sebatas panggul sampai kepala?)

Pasca Banjir 


Pagi sekitar jam 8 air mulai surut, listrik sudah menyala, perlahan kami membersihkan kosan kami, membuang air banjir yang kotor, dan mengepel semuanya. Untuk sarapan kami membeli pop mie, air panas untuk menyeduh kami masak dengan menggunakan rice cooker. Yah lumayan juga untuk mengganjal dan menghangatkan perut. Bantuan juga datang dari teman kosan saya satu lagi yang datang sambil membawa makanan. Berbenah pasca banjir ini ternyata juga sangat melelahkan. Bergotongroyong kami membersihkan lantai kosan. Akhirnya sekitar jam makan siang lantai sudah bersih, lalu kami belanja makanan jadi lagi. Kami juga membeli mie instan dan telur ayam untuk direbus. Lewat jam makan siang, kami pun sibuk untuk membereskan kamar kami masing-masing.

Saya pun langsung mengepak barang-barang yang tidak terlalu saya butuhkan selama di kosan. Hanya barang-barang penting yang saya pakai hampir setiap hari yang saya pertahankan ada di kosan. Barang-barang berat dengan nilai rupiah lumayan dan juga berkas-berkas penting saya sudah pakemkan untuk ditaruh di atas lemari. Kebanyakan makan di siang hari membuat kami tidak lapar di malam harinya.

banjir di depan kosan
Keesokan harinya (hari Selasa) kami sarapan dengan menggunakan nasi putih, mie goreng instan, telur rebus dan sisa lauk kemarin. Enaknya dari banjir seperti ini adalah kebersamaan, kami makan bersama di depan kamar kami sambil mengobrol akrab. Selesai sarapan, berbenah, dan memastikan jalanan di depan kosan saya sudah tidak tergenang air, saya pun mandi dan bergegas memanggil taksi untuk mengangkut barang-barang yang kurang primer ke rumah di Jakarta, dan tahukah Anda, perjalan kebon Jeruk-Bekasi Barat yang normalnya sekitar 2 jam, saat itu hanya butuh waktu sekitar 40 menit saja! Jalanan lancar sekali, sepiii seolah ingin membuat saya mengerti bahwa jarang orang yang keluar rumah sehabis hujan nonstop berhari-hari seperti saat itu. Luar biasa bukan…

Begitu sampai di rumah, saya langsung menaruh gembolan bawaan saya ke kamar tidur. Orang tua saya yang tidak saya kabari kalau saya kebanjiran kaget dan terharu anaknya berjuang melawan banjir tanpa bantuan keluarga. Tubuh saya yang letih saya istirahatkan di rumah, saya tidur dengan nyenyak, hingga sore hari, saya harus ke Bekasi, karena harus kembali bekerja keesokan harinya.

Sudut Pandang Baru


Tadinya saya tidak berpikir untuk sharing pengalaman yang sungguh tidak nyaman ini, hanya saja setelah membaca dua buah artikel berkaitan dengan bantuan logistik pengungsi banjir, saya merasa perlu memberikan pendapat juga berdasarkan pengalaman saya ini. Artikel satu berkisah tetang pengungsi yang menolak nasi bungkus bantuan logistik, di sini pengungsi diposisikan sebagai orang yang tidak tahu terimakasih.


 Artikel kedua berisikan sudut pandang lain dari penolakan akan bantuan logistik tersebut, juga ada solusi yang ditawarkan.


Mungkin sebelum saya mengalami kebanjiran saya akan serta merta sependapat pada artikel yang pertama tanpa mencari tahu pandangan lainnya. Tapi kini, secara umum saya lebih berpihak kepada artikel kedua, karena memang benar kami korban banjir sangat butuh bantuan logistik. Karena bahkan jika kami sudah memegang uang pun sulit untuk medapatkan makanan. Pedagang makanan di sekitar lokasi pun jarang yang buka. Bantuan logistik yang cepat sangat dibutuhkan.

Akan tetapi itu hanya untuk sehari atau dua hari saja, selanjutnya korban banjir juga adalah manusia biasa yang perlu gizi seimbang. Hadirnya sayur dan buah sangat diperlukan. Tidak perlu mahal, sayur dan buah sederhana yang murah meriah pun tidak menjadi masalah. Perut yang kembung karena kedinginan jangan diperparah lagi dengan sembelit yang disebabkan oleh terlalu banyak konsumsi makanan yang minim serat. Untuk urusan tenaga pun, budaya gotong royong masih menjadi urat nadi masyarakat negeri ini, terutama ketika mengalami ‘perjuangan’ yang sama. Saya yakin, para korban banjir (termasuk saya pribadi) bersedia mengerahkan tenaga untuk memenuhi kebutuhan logistik.

Belajarlah dari Pengalaman


Kesimpulannya, negeri ini sudah bukan sekali dua kali terkena bencana, mulai dari banjir, tsunami, kebakaran, gempa, dan juga musibah lainnya. Pengalaman-pengalaman ini menjadi begitu penting dan berharga. Mulai dari saat ini bukan hanya kita belajar bagaimana cara untuk mencegah dan memperbaiki kerusakan akibat bencana, tapi juga sudah saatnya kita menjadi penolong dan atau menjadi korban bencana yang cerdas.